Jumat, 06 Januari 2017

PSIKOLOGI DAN TEKNOLOGI INTERNET

MAKALAH
PSIKOLOGI INTERNET
(Internet Addiction)

gdarma10.png

Oleh:
Aldo Yoshua Sipahutar (10515477)
Dela Marthariani (11515652)
Gita Febrianto (17515770)
Mikhael Damanik (14515176)
Radita Ayuningtyas (15515568)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2016


BAB I

1.1.      Latar Belakang Masalah
                        Internet diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia, mengakses segalanya dengan lebih cepat dan praktis. Banyak sekali kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh internet yang membuat banyak orang menjadi tergiur untuk menggunakannya. Tidak heran jika jumlah dari pengguna internet kini kian hari kian meningkat.
Jika kita lihat, saat ini banyak sekali orang-orang di sekitar kita yang tidak dapat lepas dari gadget-nya. Bahkan disaat sedang berjalan maupun sedang berbincang dengan orang lain perhatian mereka tidak lepas dari gadget mereka masing-masing.
Saya memiliki suatu pengalaman pribadi disaat saya sedang berkumpul dan bercengkrama dengan beberapa teman saya tiba-tiba saya mendapat bbm (blackberry messenger). Disaat itu saya terpaku oleh bbm saya lalu sekitar 15 menit kemudian ketika saya memalingkan wajah saya dan melihat teman-teman disekeliling saya, tanpa disadari ternyata kita semua sedang asyik dengan gadget kita masing-masing.
Internet menjadi teman yang paling setia dan paling dibutuhkan. Memang, tidak dapat kita pungkiri perkembangan zaman juga menuntut kita untuk menggunakan internet. Namun, jika kita tidak dapat membatasinya maka hal ini dapat menimbulkan suatu gangguan yang sering disebut oleh para ahli jiwa sebagai Internet Addiction Disorder (IAD) atau gangguan kecanduan internet.


BAB II

2.1.      Teori
Griffiths (1998) telah mencantumkan enam dimensi untuk menentukan apakah individu dapat digolongkan sebagai pecandu internet. Dimensi-dimensinya adalah sebagai berikut:
  • Salience. Hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu (pre-okupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh),dan tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu memikirkan internet, meskipun tidak sedang mengakses internet. 
  • Mood modification. Hal ini mengarah pada pengalaman individu sendiri, yang menjadi hasil dari bermain internet, dan dapat dilihat sebagai strategi coping. 
  • Tolerance. Hal ini merupakan proses dimana terjadinya penigkatan jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood. 
  • Withdrawal symptoms. Hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak dilanjutkan (misalnya, mudah marah, cemas, tubuh bergoyang). 
  • Conflict. Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik  dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang  terjadi  dalam  dirinya  sendiri  (konflik  intrafisik atau  merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain internet.
  • Relapse. Hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali pola penggunaan internet setelah adanya kontrol. 

Young (1996) membagi kecanduan internet dalam 3 tingkatan, yaitu: 
  • Mild. Pada tingkatan ini individu termasuk dalam pengguna online rata-rata. Individu menggunakan internet dalam waktu yang lama, tetapi individu memiliki kontrol dalam penggunaannya. 
  • Moderate. Pada tingkatan ini individu mulai sering mengalami beberapa permasalahan dari penggunaan internet. Internet merupakan hal yang penting, namun tidak selalu menjadi yang utama dalam kehidupan. 
  • Severe. Pada tingkatan ini individu mengalami permasalahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Internet merupakan hal yang paling utama sehingga mengabaikan kepentingan-kepentingan yang lain. 



Young, Pistner, O’Mara & Buchanan, (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan internet adalah

a. Gender 
Gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab individu tersebut mengalami kecanduan internet. Laki-laki lebih sering mengalami kecanduan terhadap game online, situs porno, dan perjudian online, sedangkan perempuan lebih sering mengalami kecanduan terhadap chatting dan berbelanja secara online. 

b. Kondisi psikologis 
Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok dan seks. Kecanduan internet juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan secara psikologis terhadap perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan stress. Berdasarkan hasil survey ini juga diperoleh bahwa 75% individu yang mengalami kecanduan internet disebabkan adanya masalah dalam hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game online sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain melalui internet.

c. Kondisi sosial ekonomi 
Individu yang telah bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kecanduan internet dibandingkan dengan individu yang belum bekerja. Hal ini didukung bahwa individu yang telah bekerja memiliki fasilitas internet di kantornya dan juga memiliki sejumlah gaji yang memungkinkan individu tersebut memiliki fasilitas komputer dan internet juga dirumahnya. 

d. Tujuan dan waktu penggunaan internet 
Tujuan menggunakan internet akan menentukan sejauh mana individu tersebut akan mengalami kecanduan internet, terutama dikaitkan terhadap banyaknya waktu yang dihabiskannya sendirian di depan komputer. Individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan, misalnya pada pelajar dan mahasiswa akan lebih banyak menghabiskan waktunya menggunakan internet. Umumnya, individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan mengalami kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami kecanduan internet. Hal ini diakibatkan tujuan penggunaan internet bukan digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau melarikan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata atau sekedar hiburan.





BAB III

3.1.      Kasus
·         Kecanduan Twitter
Seorang pria yang merupakan editor di sebuah majalah pria ternama harus kehilangan keluarga dan pekerjaannya karena menjadi pecandu Twitter. Karena melanggar peraturan social media di perusahaannya, pria ini diminta untuk menghapus akun Twitternya.Namun ternyata pria ini lebih memilih Twitternya dan dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja. Setelah itu dia juga bercerai dengan istrinya setelah menulis pesan di Twitter jika dia ingin sekali menembak istrinya.”Dulu aku rela menerima tembakan demi istriku, tapi sekarang rasanya aku yang ingin menembaknya,” inilah yang ditulisnya di akun Twitter.

·         Sakit di Pergelangan Tangan karena terlalu lama bermain Whatsapp
Seorang wanita harus berakhir di rumah sakit setelah kebanyakan mengirim pesan melalui Whatsapp saat liburan Natal. Menurut The Lancet, wanita berusia 34 tahun yang sedang hamil 27 minggu ini dirawat karena nyeri hebat yang dirasakan di pergelangan tangan.Wanita ini tidak punya sejarah trauma dan juga tidak melakukan olahraga berat sehari sebelumnya. Namun, pada libur hari Natal 2013, calon ibu ini menghabiskan waktu 6 jam untuk menggenggam HPnya dan mengirim pesan dengan jumlah yang super banyak.


BAB IV

4.1.      Pembahasan
                        Kecanduan internet diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Young (Essau, 2008) juga menyatakan bahwa kecanduan internet sama seperti perilaku kecanduan lainnya, yang berisi tingkah laku yang kompulsif, kurang tertarik terhadap aktivitas-aktivitas yang lain, dan meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut. Griffiths (1998) mendefinisikan kecanduan internet sebagai tingkah laku kecanduan yang meliputi interaksi antara manusia dengan mesin tanpa adanya penggunaan obat-obatan. Orzack (dalam Mukodim, Ritandiyono & Sita, 2004) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan suatu kondisi dimana individu merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih menarik daripada kehidupan nyata sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecanduan internet adalah tingkah laku kompulsif, kurang tertarik dengan aktivitas lain, merasa bahwa dunia maya di layar komputer lebih menarik sehingga menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan internet serta meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika tingkah laku tersebut ditunda atau dihentikan.













BAB V

5.1. Kesimpulan
Istilah “Kecanduan Internet,” “Gangguan Kecanduan Internet,” “Patologis Penggunaan Internet,” “Permasalahan penggunaan internet,” “Penggunaan Internet berlebihan,” dan “Penggunaan Internet Kompulsif” semua telah digunakan untuk menggambarkan kurang lebih konsep yang sama, yaitu, bahwa seorang individu bisa begitu terlibat dalam penggunaan online mereka sebagai mengabaikan kehidupan mereka. Namun, tampaknya terlalu dini pada tahap ini menggunakan satu label untuk konsep, karena sebagian besar penelitian yang dilakukan di lapangan sejauh ini disajikan berbagai tingkat perbedaan dan hasil yang bertentangan.
Griffiths (2000a) menyatakan bahwa sebagian besar orang yang menggunakan Internet berlebihan tidak kecanduan internet itu sendiri, tetapi menggunakannya sebagai media untuk bahan kecanduan lainnya. Griffiths (2000a) mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk membedakan antara kecanduan internet dan kecanduan di Internet. Dia memberikan contoh seorang pecandu judi yang memilih untuk terlibat dalam perjudian online, serta pecandu permainan komputer yang memainkan online, menekankan bahwa internet adalah tempat di mana mereka melakukan yang dipilih (adiktif) perilaku mereka. Orang-orang ini menampilkan kecanduan di Internet. Namun, ada juga pengamatan bahwa beberapa perilaku yang bergerak di di Internet (misalnya, cybersex, cyberstalking) mungkin perilaku yang orang akan hanya melaksanakan di Internet karena media adalah anonim, tidak tatap muka, dan disinhibisi (Griffiths, 2000c, 2001).
Sebaliknya, ia juga mengakui bahwa ada beberapa studi kasus yang tampaknya melaporkan kecanduan internet itu sendiri (misalnya, Young, 1996b; Griffiths, 2000b). Sebagian besar orang menggunakan fungsi internet yang tidak tersedia di media lainnya, seperti chat room atau berbagai permainan peran-bermain. Orang-orang ini tampaknya kecanduan internet karena mereka melakukan kegiatan yang menggunakan fitur istimewa dari Internet. Namun, meskipun perbedaan-perbedaan ini, tampaknya ada beberapa temuan yang umum, terutama, laporan konsekuensi negatif dari penggunaan internet yang berlebihan (mengabaikan pekerjaan dan kehidupan sosial, kerusakan hubungan, kehilangan kontrol, dll), yang dialami sebanding dengan lainnya, kecanduan lebih mapan. Kesimpulannya, tampak bahwa jika kecanduan internet memang ada, itu hanya mempengaruhi persentase yang relatif kecil dari populasi online. Namun, apa itu di Internet yang membuat mereka kecanduan masih tetap tidak jelas. Yang jelas, adalah bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Griffiths, Mark .(1998). Does Internet and Computer 'Addiction' Exist? : Some Case Study Evidence.  http://www.intute.ac.uk/ socialsciences /archive/ iriss/papers/paper47.htm [online: 30 September 2010]
Young, K. (1998). Caught in the Net: How to Recognize the Signs of Internet Addiction and a Winning Strategy for Recovery.New York, NY: Wiley.
Young, Pitsner, O’Mara, & Buchanan. (1998). What Is Internet Addiction?. hhtp://www.netaddiction.com/whatis.htm.[online : 3 April 2010].\


PSIKOLOGI DAN TEKNOLOGI INTERNET

REVIEW JURNAL
Judul : Cyberporn: Suicide
                                                                                                                    I.            LATAR BELAKANG MASALAH

A.  Masalah yang Diangkat Dalam Jurnal
     Pada tahun 2007, sebuah sampel acak dari 1.963 menengah-sekolah dari salah satu distrik sekolah terbesar di Amerika Serikat menyelesaikan survei penggunaan Internet dan pengalaman. Pemuda yang mengalami bullying tradisional atau cyberbullying, baik sebagai pelaku atau korban, memiliki pikiran yang lebih bunuh diri dan lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri dibandingkan mereka yang tidak mengalami bentuk-bentuk rekan agresi. Juga, korban lebih sangat terkait dengan pikiran untuk bunuh diri dan perilaku dari menyinggung

B.  Tujuan Penelitian
      meneliti sejauh mana bentuk non-tradisional peer agresi-cyberbullying-juga terkait dengan keinginan bunuh diri di kalangan remaja.
    






























                                                                                                                                  II.            METODE PENELITIAN

A.  Metode yang Digunakan
     Metode penelitian yang digunakan pada studi ini adalah metode kuantitatif.

B.  Sampel / Responden
      , 20% responden melaporkan serius berpikir Dalam sampel kami, 20% responden melaporkan serius berpikir tentang mencoba bunuh diri (19,7% perempuan; 20,9% dari laki-laki), tentang mencoba bunuh diri (19,7% perempuan; 20,9% dari laki-laki), sementara 19% dilaporkan mencoba bunuh diri (17,9% perempuan; sementara 19% dilaporkan mencoba bunuh diri (17,9% perempuan; sementara 19% dilaporkan mencoba bunuh diri (17,9% perempuan; 20,2% laki-laki). 3 Berkenaan dengan intimidasi tradisional, tingkat 20,2% laki-laki). 3 Berkenaan dengan intimidasi tradisional, tingkat 20,2% laki-laki). 3 Berkenaan dengan intimidasi tradisional, tingkat 20,2% laki-laki). 3 Berkenaan dengan intimidasi tradisional, tingkat prevalensi untuk perilaku individu berkisar dari
6,5% menjadi 27,7% untuk menyinggung dan dari 6,5% menjadi 27,7% untuk menyinggung dan dari 6,5% menjadi 27,7% untuk menyinggung dan dari 10,9% menjadi 29,3% untuk korban. Bentuk yang paling umum 10,9% menjadi 29,3% untuk korban. Bentuk yang paling umum 10,9% menjadi 29,3% untuk korban. Bentuk yang paling umum bullying menyinggung dilaporkan oleh responden adalah: '' Aku menelepon siswa lain berarti nama, mengolok-olok atau menggoda dia dengan cara yang menyakitkan '' (27,7%), sedangkan yang paling sering dikutip bentuk intimidasi korban adalah : '' siswa lain berbohong atau menyebarkan rumor palsu tentang saya dan mencoba untuk membuat orang lain tidak menyukai saya '' (29,3%). Berkenaan dengan cyberbullying, tingkat prevalensi untuk perilaku individu berkisar antara 9,1% untuk 23,1% untuk menyinggung dan individu berkisar antara 9,1% untuk 23,1% untuk menyinggung dan individu berkisar antara 9,1% untuk 23,1% untuk menyinggung dan dari 5,7% menjadi 18,3% untuk korban.

C.  Alat Ukur yang Digunakan
Data untuk penelitian ini berasal dari survei didistribusikan pada musim semi 2007 menjadi sekitar 2.000 siswa di 30 sekolah menengah (6 melalui nilai 8) di salah satu distrik sekolah terbesar di Amerika Serikat. Pemuda terpilih untuk berpartisipasi dalam penelitian jika mereka terdaftar di kelas konflik rekan kabupaten-lebar bahwa semua siswa sekolah menengah diminta untuk mengambil di beberapa titik di masa sekolah menengah mereka. Ada tingkat penyelesaian 96% dari siswa yang tidak absen hari survei dilakukan; mereka yang memilih untuk tidak berpartisipasi diminta untuk diam-diam membaca, belajar, atau bekerja pada bahan sekolah mereka



                                                                                                                       III.            HASIL DAN PEMBAHASAN

A.  Menjawab Tujuan atau Tidak
    
.
B.  Kaitan Teori
     Rigby dan Slee (1999) paralel temuan ini, mengidentifikasi korelasi antara ide bunuh diri dan anak laki-laki yang diintimidasi (0,33), anak laki-laki yang diintimidasi (0,18), gadis yang diintimidasi (0,18), dan anak perempuan yang ditindas ( 0,34). Hasil serupa juga ditemukan dalam sebuah studi Americanbased, di mana intimidasi menyinggung dan korban secara signifikan terkait dengan keinginan bunuh diri dan usaha bunuh diri yang parah, Setelah mempertimbangkan penelitian yang masih ada di bullying dan keinginan bunuh diri, dapat dikatakan dengan keyakinan bahwa hubungan yang kuat ada menyinggung intimidasi tradisional dan korban juga telah dikaitkan dengan kesepian, rekan penolakan, rendah diri esteem, kesehatan mental yang buruk, dan penyakit psikologis dan fisiologis lainnya antara populasi muda

                           IV.            KESIMPULAN


A.  Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
      
    











PSIKOLOGI DAN TEKNOLOGI INTERNET

REVIEW JURNAL
Judul : Cyberbullying: Fenomena Cyberbullying Pada Remaja
                                                                                                                    I.            LATAR BELAKANG MASALAH

A.  Masalah yang Diangkat Dalam Jurnal
     Perkembangan teknologi Informasi yang semakin pesat mampu mengubah pola kehidupan masyarakat dalam hal pemenuhan informasi. Segala bentuk informasi dapat menyebar secara cepat bahkan sulit untuk dikontrol. Komunikasi tanpa pengawasan dalam lingkup sosial akan dapat menyebabkan berbagai macam penyimpangan, sebagai contoh yang akhir-akhir ini sering kita dengar dengan istilah cyberbullying. Banyak remaja atau generasi-generasi muda saat ini yang menggunakan sosial media untuk saling berkomunikasi, seperti facebook. Tidak sedikit kasus yang pernah terjadi terhadap generasigenerasi muda tersebut tentang cyberbullying.

B.  Tujuan Penelitian
     Tujuan utama dari penelitian jurnal ini adalah untuk menawarkan solusi-solusi pemecahannya serta menunjukkan etika dalam menggunakan media sosial
    




























                                                                                                                                  II.            METODE PENELITIAN

A.  Metode yang Digunakan
     Metode penelitian yang digunakan pada studi ini adalah metode kuantitatif.

B.  Sampel / Responden
     Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan UNICEF pada tahun 2011 hingga 2013 yang dirilis Februari 2014, menyatakan sebagian besar remaja di Indonesia telah menjadi korban cyberbullying. Studi melibatkan 400 anak dan remaja rentang usia 10 hingga 19 tahun. Dari ini juga terungkap bahwa sembilan dari sepuluh siswa atau 89 persen responden berkomunikasi secara online dengan teman-teman mereka, 56 persen berkomunikasi online dengan keluarga, dan 35 persen berkomunikasi secara online dengan guru mereka. Sebanyak 13 persen responden mengaku menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman. Estimasi jumlah remaja yang mengalami cyberbullying di Indonesia sangat tinggi, Survei global yang dilakukan oleh Ipsos terhadap 18.687 orang tua dari 24 negara, termasuk Indonesia, menemukan bahwa 12% orang tua menyatakan bahwa anak mereka pernah mengalami cyberbullying dan 60% diantaranya menyatakan bahwa anak
anak tersebut mengalami cyberbullying pada jejaring sosial seperti Facebook. Di Indonesia, 14% orang tua yang menjadi responden survei ini menyatakan anak mereka pernah mengalami cyberbullying, dan 53% menyatakan mengetahui bahwa anak dikomunitasnya pernah mengalami cyberbullying.

C.  Alat Ukur yang Digunakan
     Tingginya angka cyberbullying di Indonesia sangat dipengaruhi oleh penggunaan internet yang meningkat setiap tahunnya terutama dikalangan remaja. Sebagai masyarakat yang setiap harinya berkutat dengan dunia teknologi dan media sosial harus bersifat bijak dalam menghadapi dilema perkembangan teknologi informasi tersebut.














                                                                                                                       III.            HASIL DAN PEMBAHASAN

A.  Menjawab Tujuan atau Tidak
     Melalui revolusi mental diharapkan masyarakat kembali memiliki nilai-nilai positif yang dianut oleh generasi sebelumnya, dan tentunya program pemerintah ini harus didukung oleh segenap masyarakat dalam segala aspek kehidupan. sepatutnya memperhatikan etika bermedia sosial dengan mematuhi undang-undang yang berlaku agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menjadi korban ataupun pelaku cyberbullying. Sebagai pengguna teknologi informasi, sepatutnya memperhatikan etika bermedia sosial dengan mematuhi undang-undang yang berlaku agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menjadi korban ataupun pelaku cyberbullying.
Cyberbullying di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

B.  Kaitan Teori
     menurut Madcoms (2010), Facebook adalah suatu  situs  jejaring  sosial   yang  dapat dijadikan sebagai  tempat  untuk  menjalin hubungan  pertemanan  dengan  seluruh orang yang  ada  di  belahan  dunia  untuk dapat  berkomunikasi  satu  dengan  yang lainnya.





















                                                                                                                                               IV.            KESIMPULAN

A.  Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
     Pelaku cyberbullying dapat dituntut pidana berdasarkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Untuk menanggulangi cyberbullying di media sosial facebook maka perlu dilakukan tindakan preventif melalui pendidikan etika. Etika yang perlu diperhatikan dalam menggunakan media sosial khususnya facebook antara lain tidak memposting tulisan, gambar maupun vidio yang berbau SARA atau menyinggung pihak lain, berkomunikasi dengan sopan, mampu membedakan obrolan pribadi atau publik, tidak sembarangan membagikan tautan dan memahami konten secara menyeluruh sebelum berkomentar.
     Kekurangan
     Harusnya menanggulangi juga dengan adanya psikolog, untuk kepribadian sang anak yang sudah terkena cyberbullying. Walaupun sudah di tanggulangi secara hukum ada baiknya juga, menanggulangi secara mental